IMAM, SEBUAH IDENTITAS, REALITAS DAN SPIRITUALITAS (IURISDIKSI SPIRITUALITAS)



Tema Penulisan
Imam, sebuah identitas, realitas dan spiritualitas
Prosesnya:
1.       Bab 1. Landasan Teologis Identitas imam di dalam Gereja Katolik (teologi imamat jabatan)
2.       Bab 2. Imam, sebuah potret realitas SWAT bisa belajar apa untukku
3.       Bab 3. Imam membangun spiritualitas di abad baru, (spiritualitas imam/MSC di abad baru)
Spiritualitas imam dari YP II dan pater Chevalier
Berhadapan dengan situasi masyarakat, imam harus berbuat apa?

BAB I
LANDASAN TEOLOGIS IDENTITAS IMAM DI DALAM GEREJA KATOLIK

Pendahuluan
Sebelum memaknai dan mendalami spiritualitas imamat jabatan perlulah mengetahui siapakah itu imam. Oleh karena itu, pada bagian ini kita akan membahas identitas imam dari perjanjian lama, perjanjian baru, dan perkembangan Gereja selanjutnya sembari merefleksikan hakikat imamat jabatan yang dianugerahi kepada seorang imam.

Imam Dalam Perjanjian Lama
Imam dari asal katanya imam digunakan untuk kata Yunani “hiereus” yang dalam perjanjian lama dan perjanjian baru digunakan untuk orang-orang yahudi yang mempersembahkan kurban di Bait Allah Yerusalem.[1] Pemahaman tentang imam di sini sempit karena fungsi dan tugasnya sebagai persona yang melaksanakan suatu bentuk tindakan kultis keagamaan.
Dalam perjanjian lama, fungsi imam dijalankan pertama-tama oleh mereka yang berasal dari keluarga Harun dari suku Lewi. Mereka dipilih mewakili seluruh bangsa menjalankan tugas dan fungsi tertentu seperti mengajar agama yaitu hukum Taurat, mengurus Bait Allah dan mempersembahkan kurban pemulihan atas dosa dan kesalahan. Terkadang imam ini lalai menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya dalam hal transaksi jual-beli yang sering di buat di halaman rumah Tuhan. Oleh karena itu mereka sering mendapat kritik yang tajam dari Tuhan lewat para nabi. Imam dalam tingkatan ini berperan sebagai orang-orang yang ada di “depan” untuk bertemu dengan Tuhan dalam upacara kultis.
Masih dikenal pula imam agung. Orang Israel mengenal adanya imam yang memegang jabatan tertinggi untuk mempersembahkan kurban, misalnya dari keluarga Sadok. Imam agung mengepalai mahkamah agama untuk jabatan satu tahun. Tugas imam ini adalah memasuki ruang maha kudus sekali setahun dan mempersembahkan kurban pendamaian untuk dosa-dosa seluruh umat. Sekali lagi ia masih menjadi pengantara antara Yahwe dan bangsaNya.[2]
Jadi, dalam perjanjian lama imam sudah memiliki tugas dan kewajiban tertentu, jabatannya juga eksklusif bagi kelompok keluarga tertentu. Kalaupun ia memiliki jabatan, jabatan itu diangkat oleh manusia untuk menjadi orang yang mewakili bangsa bertemu dengan Tuhan mengakukan salah dan melakukan pendamaian.

Imam Dalam Perjanjian Baru
Dalam perjanjian baru, pandangan tentang imam merujuk pada Yesus Kristus. Setelah Yesus mengurbankan diriNya di kayu salib demi umat manusia, kurban orang yang Yahudi yang dipersembahkan oleh seorang imam, tidak ada artinya lagi. Kurban dan imam satu-satunya adalah Yesus Kristus. Dalam misteri paskah, umat sebagai Tubuh Mistik Kristus merayakan kuban paripurna kepalaNya yaitu Yesus. Dalam perayaan itu, peranan Kristus sebagai Yang mempersembahkan kurban ditampakkan oleh ketua (presbiter) umat dengan bertindak in persona Christi atau “atas nama Kristus”. Presbiter bertindak bukan sebagai wakil umat seperti seorang imam dalam perjanjian lama. Ia memang memimpin perayaan Ekaristi tetapi di saat itulah Yesus sendiri sungguh hadir mengurbankan dirinya untuk penebusan umat manusia.
Yesus kini sebagai imam agung yang menjadi contoh bagi mereka yang dianugerahi imamat jabatan. Ia meletakkan dasar imamat jabatan saat keduabelas rasul dipilih olehNya, lebih-lebih menunjuk Petrus sebagai primus interpares dari para murid (Bdk. Mat. 16:13-19) supaya menjadi utusan yang mewartakan pengajaran, wafat dan kebangkitanNya. Ketika bermisi di tempat baru, para rasul tidak berdiri di samping Kristus, melainkan berkarya semata-mata  sebagai utusanNya. Para rasul tak bisa berbuat apa-apa dan terpisah dari Kristus. Sebagai seorang imam mereka tidak memiliki apa-apa dari dirinya sendiri, tetapi segalanya dari Kristus. Jadi, karena kepandaian dan kesucian tiap rasul sehingga mereka menjadi seorang imam tetapi karena apa yang mereka terima dari Kristus sehingga siapa yang mendengarkan para rasul, ia mendengarkan Kristus sendiri (Luk. 10:16).
Tugas dan wewenang khusus para rasul adalah merayakan perjamuan suci (Luk. 22:19), bertindak sebgai wakil Kristus dan utusanNya supaya orang didamaikan dengan Allah (2Kor 5:18-20), supaya misteri ilahi disampaikan (1Kor. 4:1) dan mengoreksi orang yang menyeleweng (1Kor. 4:21). Jadi, para rasul berwenang terhadap umat karena menerima kuasa Yesus.[3]

Imam Dalam Perkembangan Gereja Selanjutnya
Selanjutnya bagaimana dengan pengganti para rasul? Apakah mereka menerima kuasa yang sama? Perlu diketahui bahwa umat semakin menyebar pada waktu itu, maka para rasul mengikutsertakan orang lain yang diserahi sebagian tugas dan wewenangnya. Perjanjian baru menyebutkan adanya orang yang diangkat melalui penumpangan tangan oleh para pejabat Gereja yang membentuk semacam dewan, misalnya dewan penatua yang disebut presbiteroi, episkopoi dan diakonoi. Gereja merwarisi tradisi tersebut dan mengungkapkannya dalam apa yang disebut imamat jabatan. Dalam imamat jabatan dikenal tingkatan yaitu episkopat, presbiterat dan diakonat.
Seseorang yang dipilih menjadi imam, ia dianugerahi imamat jabatan tinkat prebiterat. Imamat jabatan berarti imamat yang diperoleh seorang beriman dari sakramen tahbisan. Seorang imam kini memiliki jabatan khusus sebagai pelayan jemaat. Melalui sakramen imamat, si imam mengambil bagian di dalam kuasa Kristus untuk membantu uskup. Perlu diingat bahwa para pejabat Gereja tidak dapat berbuat apa-apa yang berarti untuk keselamatan diri dan orang lain melainkan hanya atas nama dan kekuasaan Kristus.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman tentang seorang imam berkembang drastis Dalam dokumen Konsili Vatikan II Presbyterorum Ordinis, dijelaskan tentang pelayanan imam. Imam adalah pembantu uskup. Ia wajib mewartakan Injil, menguduskan umat, dan menggembalakan umat.[4] Dalam keterangan dokumen ini, fungsi imam diperlebar. Imam menjadi seorang pastor paroki yang adalah perpanjangan tangan uskup untuk membangun jemaat (Bdk. Kan. 495). Imam hadir sebagai gembala untuk dombanya yaitu umat, dalam arti itu imam dilihat sebagai seorang pemimpin suatu kelompok umat yang ada dalam suatu bentuk sistem tertentu entah sistem sosial-masyarakat, sistem adat dan sistem tata negara tertentu. Relasi kedua pihak: imam dan umat membentuk suatu ikatan kerja sama. Imam pada akhirnya juga membutuhkan “team work” untuk kesuksesan reksa pastoralnya.
Akhirnya bagaimana dengan penghayatan imamat jabatan dalam hidup harian seorang imam. Untuk mengetahui hal tersebut, pada bagian selanjutnya kita akan menggali lewat pengalaman imam-imam yang menghayati imamatnya sampai saat ini

BAB II
IMAM, SEBUAH POTRET REALITAS

Dalam bagian kedua ini, kami membuat suatu penelitian sederhana dengan mewawancarai beberapa imam. Wawancara ini bertujuan untuk mendapat gambaran realitas sejauh mana penghayatan seorang imam atas imamat jabatan yang dihidupinya. Berikut ini adalah contoh pertanyaan bantuan yang dipakai metode wawancara tersebut.
1.      Apa saja yang menjadi kekuatan pastor untuk menghidupi spiritualitas imamat pst sampai saat ini?
2.      Hal apa yang menjadi kelemahan pastor ketika menghidupi spiritualitas imamat pst selama ini?
3.      Apa saja yang menjadi peluang pastor saat ini dalam menghidupi spiritualitas imamat pst?
4.      Hal apa yang menjadi ancaman atau tantangan ke depan saat menghidupi spiritualitas imamat pastor?

Pastor Neles Jamlean MSC (8 Desember 1989; 29 tahun imamat; pembina)
Kekuatan
Kekuatan saya adalah saya tetap berpegang teguh pada sebuah visi yang terlukis di dalam kitab kejadian bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta alam semesta. Puncak karya penciptaannya itu adalah manusia. Allah sendiri menciptakan semua itu baik adanya. Saya sangat percaya akan hal tersebut sehingga saya memandang orang lain semata-mata baik, indah dan bisa diajak bekerja sama. Dari pandangan ini saya menghidupi nilai-nilai dalam tugas pastoral saya bersama dengan umat yang pernah saya layani. Nilai-nilai itu seperti cinta, belas kasih, dan kesabaran. Nilai itu juga yang menjadi kekuatan bagi saya dalam menjalani panggilan sebagai seorang biarawan sekaligus pastor.

Kelemahan
Kelemahan yang biasanya saya amati adalah banyak orang jarang membuat suatu evaluasi yaitu “ujian kehidupan”. Mungkin juga termasuk saya. Yang dimaksud dengan ujian kehidupan adalah seseorang mampu untuk memberikan penilaian terhadap diri sendiri, bisa mengoreksi diri, melihat hal-hal yang perlu dikembangkan dan dipertahankan dalam panggilan hidupnya. Intinya kebaikan dan keburukan diri pribadi harus disadari ketika melayani umat Allah.

Peluang
Soal peluang, saya berprinsip bahwa waktu ini pendek sehingga janganlah menunda untuk berbuat baik. Dalam menghayati panggilan sebagai imam, saya harus bergerak cepat. Tidak banyak hal yang bisa dibuat dalam kehidupan ini karena manusia terbatas pada kesehatan dan usianya. Oleh karena itu selagi saya bisa membantu dan berbuat hal baik dalam pelayanan sebagai imam, saya akan getol membuat hal tersebut. Saya tidak boleh menunggu lama melainkan gesit dan memanfaatkan apa yang ada disekitar saya.

Tantangan
Melayani sebagai persembahan diri kepada Tuhan. Tantangan sebagai imam adalah bagaimana saya bisa menghayati segala sesuatu yang dibuat dalam pelayanan sebagai suatu pemberian diri yang total kepada Tuhan. Merujuk pada contoh Yesus yang mengatakan dirinya sebagai gembala yang baik yang memberikan lambungnya ditikam dengan tombak, saya merasa seorang imam harus selalu menghayati imamatnya sebagai pengorbanan diri bagi Tuhan lewat sesama.

Pastor Hendrikus Suhendro MSC (5 Desember 1939; 39 tahun imamat; pembina)
Kekuatan
Seseorang harus mengenal dirinya terlebih dahulu (self knowledge). Pada dasarnya imamat tidak boleh dipisahkan antara rahmat dan khodrat. Khodrat harus menjadi lahan yang subur bagi rahmat Allah oleh karena itu hakekat kemanusiaan harus diolah menjadi bagus. Lagipula manusia adalah citra Allah maka daya Allah ada dalam kemanusiaan manusia sehingga harus digarap. Bila seseorang telah mengenali dirinya secara utuh rahmat Allah akan tumbuh subur. Dari sini imamat bisa ditopang dengan mengenal aspek-aspek positif sebagai citra Allah. Jadi, kita bisa mengerti mengapa ada orang seperti Yohanes Paulus II dan paus Fransisikus. Mereka belajar mengenal diri sendiri, berusaha mengingkarnasikan kualitas-kualitas Allah dan perlahan-lahan mengecap kehendak Allah yang hendak terjadi dalam diri mereka.

Kelemahan
o   Mereka melihat imamat mereka sebagai suatu Job. Saya melihat bahwa banyak orang terjebak dalam “doing-doing” melulu. Keberhasilan menghayati imamat tidak ditentukan oleh seberapa sukses dan banyaknya program, kegiatan aktifitas pembangunan Gereja yang dibuat. Imamat merupakan anugerah luhur di mana seseorang dipanggil untuk mengetahui apa yang diinginkan Allah dalam dirinya.
o   Memiliki ikatan-ikatan baik dari dalam maupun dari luar. Ikatan dari dalam seperti gengsi atau ketakutan akan kehidupan dunia sekarang ini.
o   Tidak mengolah latihan rohani. Latihan-latihan rohani diabaikan karena menjadi imam dipandang sebagai kuk yang memberatkan.

Peluang
o   Kesempatan untuk berjumpa dengan umat, teman misionaris yang lain, teman sekomunitas basis misioner dan kelompok kategorial lainnya. Dalam perjumpaan itu hendaklah dihayati bahwa kita dicintai, kita diperlukan banyak orang dan kita bisa menyumbang untuk Gereja semesta.
o   Evaluasi, refleksi dan internalisasi. Seseorang harus menggunakan “tools” pembinaan yang ada untuk bisa mengobserfasi, mengkontemplasikan, dan berdiscerment.
o   Balancing dalam hidup demi integritas diri. Ada saat untuk menggunakan budi tapi juga hati, kebutuhan tubuh yaitu rekreasi namun perlu keheningan batin.

Tantangan
Tak memahami apa yang dirindukan Allah kalau ia memanggil saya. Kerinduan Allah bisa disadari saat seseorang peduli, mengolah dan mengenal dirinya sendiri. Mengolah diri bisa dari dalam yaitu saat berdiskresio manakah bidang kehidupan yang belum terintegrasi. Kemudian kita bertanya apakah kita mandeg dalam pertumbuhan kepada kekudusan?

Pastor Chris Macphee MSC (4o tahun imamat; Provinsial MSC Australia)
Dalam komentar singkat pastor ini menulis demikian:
“Dear Yos, great to hear from you... Good on you... Here are some thoughts about being MSC today. It is important for all MSC ministering to others to acknowledge and address the need to respect and care for themselves. Effective ministry is not only enhanced by, but is reliant upon, attention to care of self. Yos, I think being an MSC the following have helped me: Developing a network of peers, Establishing and maintaining mature friendships, Reading scripture, Making an annual retreat, Embracing opportunities for continuing formation, Praying, Developing a contemplative attitude to ministry, Seeing health professionals regularly, Learning to confide in trusted colleagues and friends, Eating healthily, Sleeping sufficiently, Exercising regularly, Drinking alcohol in moderation, Taking days off regularly, Taking holidays annually. I hope this has been of help. Cheers! Chris”

Pastor Yongky Wawo MSC (4 tahun imama; misi luar negeri)
Kekuatan
Kesadaran akan panggilan Allah dalam diri bukan untuk diri sendiri tetapi dalam konteks melayani. Saya tidak menjadi imam — dalam arti pelayan yang ditahbiskan — untuk diri saya sendiri atau karena tingkat kesucian pribadi yang lebih tinggi, tetapi oleh panggilan Allah, yang dilihat oleh Gereja. Saya yang memiliki banyak kelemahan ini ditahbiskan dan dipanggil untuk kesucian melalui baptisanku, tidak menjadi semacam seorang "super-Kristen" karena penahbisanku. Saya dipanggil untuk juga  melayani pengudusan orang-orang yang dipercayakan kepadaku dengan membuat Kristus hadir - yang sendirian menyelamatkan - oleh firman dan sakramen-sakramen-Nya. Oleh karena itu bukan soal tempat di mana saya di utus, tetapi untuk siapa untuk apa saya menjadi imam. Dengan demikian, saya tetap selalu berusaha enjoy di mana pun saya ditugaskan.
Kekuatan lain adalah: Komunitas di mana saya tinggal. Saya sadar bahwa bahwa panggilan imamat adalah hal yang sangat personal, tetapi saya juga mendapat kekuatan dari dukungan orang-orang yang ada di sekitarku (umat dan komunitas). Doa pribadi dan juga doa bersama-sama secara komunal mengingatkan saya akan misi “pergi ke pinggiran” tetapi juga “tidak lupa pergi ke Sumber “kekuatan misi itu sendiri.”  Doa umum dan doa pribadi saling terkait erat satu sama lain. Sebagai seorang yang baru ditahbiskan dan yang tinggal di komunitas, saya  memelihara konsekrasi hidup saya baik melalui dialog pribadi yang konstan dengan Tuhan dan juga melalui pujian dan doa komunitas. Oleh karena itu dengan mengembangkan kehidupan rohani kita dan dengan mendasarkan diri pada interioritas yang mendalam bahwa kita akan dapat menjadi pewahyu dari karya Roh dalam kehidupan mereka yang kita jumpai. Adalah dengan menghadiri Kristus bahwa kita akan mengenali "karakter ilahi" yang bersinar di wajah saudara-saudari kita. Ini menyiratkan bahwa kita memupuk pengalaman spiritual yang intens dan bahwa kita dapat memancarkannya. Inilah gaya pastoral parfum, yang dengan kekuatan rohani kita dapat memberi “wangi yang mantap” mengenai kebaikan kasih Tuhan kepada siapa pun.

Kelemahan
Ada godaan melihat hasil pastoral secara langsung. Padahal karya pastoral itu tidak lain adalah karya ROH KUDUS sendiri. Kadang ada godaan, “kok karya saya selama ini mana hasilnya? Yahhhh...”apa yang kita alami sekarang ini adalah hasil misi para pendahulu, dan apa yang anda dan saya lakukan saat ini, hasilnya akan dinikmati oleh generasi mendatang,” demikian saya dengar beberapa kali ungkapan ini dari para imam MSC senior di Issoudun. Benar juga!

Peluang
Berkomunikasi untuk tumbuh bersama. Pertemuan rutin di tingkat komunitas, seringkali setiap minggu, juga terbukti sangat berguna; Hal itu berguna untuk membiarkan para anggota berbagi masalah mengenai komunitas, institut, Gereja, dan dalam kaitannya dengan dokumen utama Gereja. Mereka memberikan kesempatan untuk mendengarkan orang lain, berbagi pikirannya sendiri, meninjau dan mengevaluasi pengalaman masa lalu, serta berpikir dan merencanakan bersama.

Tantangan
Saya hidup di negara sekular, Perancis, secara khusus Issoudun yang sejak masa sebelum P. Jules Chevalier ada “penyakit-penyakit zaman,” -egoisme, antiklerikalisme, dan indifference alias acuh tak acuh terhadap kehidupan religius. Gaya pastoral pun beda dengan gaya pastoral tradisional seperti yang kita lakukan di negara kita. Di negara kita, pada umumnya kita menerapkan gaya pastoral “transmisi iman” yakni kalau orang tua agama katolik hampir pasti anak-anaknya adalah katolik. Kalau di Perancis gaya pastoral yang diterapkan adalah “la proposition de la foi atau menawarkan « perjalanan iman bersama » kepada meraka yang meminta untuk masuk katolik. Ini semua butuh penyesuain dari pihak saya. Saya ditantang untuk menerima kenyataan pastoral gaya demikian.
Di samping itu, kalau di negara kita untuk kunjungan umat adalah hal yang gampang, karena kita bisa datang kapan saja ke rumah-rumah orang. Kalau di Perancis, sangat formal, karena haru ada janji, lihat agenda berulang-ulang untuk mencocokan waktu luang di dua belah pihak (umat yang akan dikunjungi maupun agenda kita sendiri). Yah untuk mengenal lebih dekat domba-domba, seorang gembala harus keluar dari zona nyamannya. Dalam keadaan demikian juga saya ditantang untuk menerima tantangan misi dengan hati penuh syukur.

Joni Astanto MSC (24 Mei 2000; 18 tahun imamat; Direktur Panti Petrus Vertenten)
Kekuatan
Hidup rohani yang mendalam dan hidup berkomunitas.
Kelemahan
Perasaan puas pada diri dan kemalasan.
Peluang
Hidup komunitas yang baik, macam-macam kerasulan yang masih terbuka, penghargaan dari umat yang dilayani.
Tantangan
Modernitas, kemajuan teknologi informasi, hedonisme dalam masyarakat.

Albertus Sujoko MSC (Pembina dan Dosen STFSP)
Kekuatan
Ekaristi harian dan doa harian, serta doa-doa devosi seperti rosario, momorare; dan juga retret tahunan, rekoleksi, perjumpaan dengan rekan-rekan imam, memberikan retret, mengaku dosa, dan melaksanakan tugas-tugas sebagai imam: asistensi misa; memberi sakramen orang sakit, dan misa jumat pertama di stasi.
Kelemahan
Kelemahan banyak juga: cari enak, cari gampang, malas melayani, suka menikmati waktu sendiri, kurang melibatkan diri dalam kebersamaan.
Peluang
Mengisi setiap hari dengan kegiatan rutin dan penuh syukur; dari bangun pagi sehat dan berdoa; melaksanakan tugas, menulis buku-buku, mengajar, membimbing skirpsi dan bimbingan rohani, banyak kemungkinan bertemu dengan banyak orang; membantu orang-orang kecil.
Tantangan 
Godaan sangat banyak seperti pornografi di HP dan laptop; kalau lelah dan sakit; kalau kecewa karena tidak terlaksana apa yang direncanakan.
Kesimpulan: Apa yang bisa dipelajari?
Dari sharing dan refleksi beberapa pastor tersebut, kekuatan dominan untuk menghidupi imamat adalah memperhatikan kehidupan rohani. Aspek kerohanian sangat penting. Latihan rohani seorang imam adalah Ekaristi kudus, doa, devosi, meditasi dan kontemplasi. Latihan ini sangat berdaya guna ketika seseorang sadar akan apa yang dilakukannya dan merasakan betul di dalam hati bahwa ia harus menjadi wadah yang subur bagi rahmat imamat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya. Tidak mungkin rahmat diterima begitu saja tanpa ada kerja sama yang baik dari kodrat. Memang kodrat kemanusiaan bervolume besar tetapi kualitas ilahipun diwarisi oleh manusia sejak ia dibaptis. Manusiapun menjadi anak Allah yang siap menerima rahmat imamat oleh penumpangan tangan seorang uskup. Latihan rohani dibuat untuk mematangkan kodrat manusia. Ada pastor yang berkata agar memperhatikan perawatan diri tapi juga punya self knowledge. Dalam konteks perawatan diri, hidup berkomunitas memiliki andil yang besar. Sebagian besar imam menyatakan bahwa komunitas atau lingkungan seminari menjadi instrument sosial control yang memelihara penghayatan hidup sebagai imam yang diangkat Kristus sendiri.
Tentang kelemahan. Ada pastor yang mengatakan rasa malas, suka menikmati waktu sendiri, berpuas diri, godaan untuk melihat hasil pastoral yang dikerjakan. Beberapa indikator ini mencuat dari persepsi dan penghayatan imamat yang hanya melakukan tugas melulu seperti seorang pekerja sosial. Imamat terlepas dari hakikatnya yang luhur dan mulia. Bila tidak ditopang dengan hidup rohani yang matang, imamat hanya dilihat salah-satu dari banyaknya profesi yang ada di dunia ini. Jadi, kelemahan terbesar adalah segi kemanusiaan yang tidak dikontrol karena seseorang terikat dengan ikatan dari dalam diri seperti gengsi dan kejar prestise.
Peluang. Dari sharing para pastor, dalam menghayati imamat kita tak perlu melakukan hal yang luar biasa. Hal kecil, sederhana dalam rutinitas keseharian bila disadari betul akan menjadi hal yang sungguh istimewa. Dalam hal ini saya terkesan dengan sharing pastor Chris. Kami menerjemahkannya sebagai berikut: “Penting bagi semua MSC untuk mengenali dan menangani kebutuhan untuk menghormati dan merawat diri mereka sendiri. Pelayanan yang efektif tidak hanya ditingkatkan, tetapi bergantung pada perhatian lewat perawatan diri. Hal-hal berikut yang membantu saya: Mengembangkan jaringan rekan, menjalin dan memelihara persahabatan yang matang, membaca Kitab Suci, melakukan retret tahunan, memanfaatkan peluang yang ada, berdoa, mengembangkan sikap kontemplatif terhadap pelayanan, mengecek kesehatan secara professional dan teratur, belajar dipercaya kolega dan teman misionaris lain, makan dengan sehat, tidur cukup, berolahraga secara teratur, minum alkohol dalam jumlah sedang, mengambil hari libur secara teratur, mengambil liburan setiap tahun.” Jadi, spiritualitas imamat jabatan yang juga adalah bagian dari panggilan kepada kekudusan bisa dihidupi secara teratur dan terjangkau dalam pengalaman kongkret harian.
Tantangan dewasa ini. Dalam menghayati imamat jabatan, seorang imam akan ditantang dengan perkembangan dunia saat ini yang sangat modern dan pertumbuhan IPTEK global. Refleksi para pastor menggarisbawahi pornografi di HP dan laptop, hedonisme masyarakat, kondisi umat dalam negara yang sekular seperti di Prancis dimana ada waktu khusus untuk kunjungan umat dan lain-lain. Kami akhirnya sadar bahwa tiga godaan utama menghayati imamat yang lazim disebutkan yaitu harta, wanita dan kuasa berakar pada perkembangan ini. Kami juga merasa bahwa tantangan besar lainnya adalah seseorang tidak menemukan sebuah nilai yang patut ia pegang dan hidupi ketika ia memilih jalan imamat. Seperti pasutri yang sedang menghayati sebuah nilai dalam relasi mereka, seorang imampun harus menemukan dan merasakan nilai yang terdalam dalam relasinya dengan Kristus melalui sakramen imamat.
Lantas, di masa sekarang ini, kita membutuhkan suatu bentuk spiritualitas imam yang menjadi model bagi para imam dan calon imam. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah berhadapan dengan situasi masyarakat seorang imam harus berbuat apa? Pertanyaan ini akan dijawab dalam bab selanjutnya.

BAB III
IMAM MEMBANGUN SPIRITUALITAS DI ABAD BARU

Sudah ditemukan dalam bab sebelumnya tantangan dan ancaman yang akan dihadapi dalam menghidupi spiritualitas imamat jabatan. Intinya adalah pengaruh perkembangan dunia modern yang membuat seseorang merasa kehilangan nilai, terlalu egois dan bertanya-tanya tentang hasil yang terbaik dari usaha pastoralnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah contoh spiritualitas, gaya hidup atau gaya kepemimpinan seseorang yang sekiranya membangkitkan semangat seorang imam atau calon imam menghayati kembali imamat jabatannya. Kita sekalian akan diajak mengenal spiritualitas Paus Fransiskus.

Belajar dari Paus Fransiskus
Nama asli Paus Fransiskus adalah Jorge Mario Bergoglio. Jorge nama sapaannya lahir di Flores, Buenos Aires, Argentina pada tanggal 17 Desember 1936. Jorge adalah anak pertama dari lima orang bersaudara, ayahnya bernama Mario Jose Bergoglio seorang pegawai kereta api, dan ibunya bernama Regina Sivori, seorang Ibu rumah tangga. Kedua orang tuanya berasal dari Italia.[5]
Fransiskus terpilih sebagai Paus pada hari kedua konklaf tanggal 13 Maret 2013. Dalam pidatonya, pada awal keterpilihannya, ia meminta kepada seluruh umat untuk berdoa bagi Paus emeritus Benediktus XVI, juga berdoa bagi dia sebagai Paus yang baru. Melalui pidatonya, Paus mengungkapkan, “Ini perjalanan Gereja Roma yang dituntut untuk memimpin Gereja keseluruhan dengan kasih. Sebuah perjalan berlandaskan persaudaraan, kasih dan saling percaya di antara kita.”[6] Ungkapan paus ini mengarahkan kita dan membuat kita mengerti, bahwa gerak dari Gereja adalah gerak ‘kasih’ dan ‘cinta persaudaraan’. Melalui ‘belas kasih’ kita mengenal Allah kita dan dengan ‘cinta persaudaraan’ kita menyapa sesama kita. Lebih dari itu, lewat pidatonya Paus meminta kepada kita untuk menjadi pewarta ‘Belas kasih Allah’.

Sikap-sikap yang Menonjol dalam Kepemimpinan Paus Fransiskus
Kerendahan hati dan dekat dengan orang miskin, mungkin bukan lagi sesuatu nilai yang baru dalam kehidupan Paus Fransiskus. Tetapi Bagaimana nilai kerendahan hati dan kedekatan dengan orang miskin ini, dihidupi dan dipraktekan Paus Fransiskus dalam kepemimpinannya sebagai seorang paus, itulah yang dianggap baru.
Paus Fransiskus menolak diperlakukan secara istimewa. Ketika Paus Fransiskus menjabat sebagai Paus, ia menolak untuk memakai mobil kepausannya. Dalam berbagai kesemaptan ketika Paus ingin berpergian, ia lebih memilih menaiki mini bus dibanding menaiki mobil khusus untuk paus. “Saya menggunakan bus saja, karena ketika kita datang, saya bersama kalian naik bus”[7], inlah yang diungkapkan paus ketika para kerdinal memintanya untuk menaiki mobil yang disediakan khusus untuk paus. Selain menolak menggunakan mobil kepausan, Paus Fransiskus juga menolak untuk tinggal di apertemen kepausan.
Paus Fransiskus mengunjungi mereka yang terpinggirkan. Ketika para pastor dan para uskup mengadakan Misa Kamis Putih di Paroki dan Katedral mereka masing-masing. Paus Fransiskus pada mengadakan Misa Kamis Putih di penjara. Di sana Paus Misa bersama para ‘penjahat’ yang bisa dibilang diasingkan karena kejahatan yang mereka lakukan. “Paus Fransiskus membasuh kaki 12 narapidana remaja, dua di antaranya perempuan, yang salah satunya beragama Islam. Paus Fransiskus tidak hanya berlutut dan membasuh kaki 12 para narapidana itu, tetapi ia juga mencium kaki mereka satu per satu…”[8] Selain membuat Misa di penjara, Paus Fransiskus juga mengunjungi mereka yang terkena penyakit HIV/AIDS. Paus Fransiskus juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang senang menjumpai umatnya, yang berada di daerah kumuh dan miskin.
Masih banyak peristiwa yang lain, yang ditunjukan Paus Fransiskus di mana ia sungguh menghayati nama Santo Fransiskus Asisi dalam jabatanya sebagai Paus. Kiranya dua peristiwa di atas, membuat kita menyadari betapa Paus Fransiskus menghayati semangat kemiskinan, kesederhanaan dan terlebih semangat cinta kasih. Selain menghayati semangat Santo Fransiskus Asisi, Paus Fransiskus juga melaksanakan amanat dari Sang Guru utama Yesus Kristus, “Apa yang engkau lakukan bagi seorang yang paling hina ini, itu engkau lakukan terhadap Aku.”

Beberapa hal yang bisa dipelajari
Nilai cinta kasih menjadi pegangan utama. Seorang imam dapat mengembangkan nilai ini ketika ia menghidupi spiritualitas imamatnya. Sama seperti pasangan suami dan istri yang memperjuangkan suatu nilai dalam relasi mereka, si imampun harus bisa menemukan suatu nilai atau alasan yang mendorongnya menghidupi panggilannya sebagai seorang imam. Seorang imam bisa menghidupi semangat cinta yang mendalam seperti yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus. Cinta itu tidak bersifat eksklusif tetapi tebuka terhadap sebanyak mungkin orang, menghadirkan bela rasa bagi orang lain dan menutup godaan untuk cinta terhadap diri sendiri. Bila Kristus terlebih dahulu memilih seseorang menjadi imamNya, hal itu terjadi karena cintaNya yang besar. Seorang imam harus mampu membalas dan meneruskan cinta Allah itu kepada umat yang ia layani.
Bertindak sederhana namun tetap konsisten. Seperti Paus Fransiskus yang tampil apa adanya tanpa mengeluh atau menginginkan perlakuan khusus, seorang imam bisa menghayati spiritualitas imamat jabatannya dengan tidak mengeluh bila ia dipanggil untuk tugas yang lumayan berat. Seorang imam harus rendah hati bukan menjadi orang yang tergila-gila pada jabatan, status tertentu dengan tempat tugas yang menyenangkan. Imam yang bisa menghayati imamat jabatannya secara optimal pasti tidak menghayal secara berlebihan, atau berusaha mengejar target-target karena ia bisa frustrasi dan depresi bila suatu ketika apa yang diimpikan tidak terwujud.
Pelayanan kepada orang “kecil”. Salah satu ciri khas spiritualitas imam menurut konsili vatikan II adalah pelayanan. Pelayanan itu memiliki simbol khusus bagi para imam untuk menjadi seorang pelayan (PO no. 1).[9] Paus Fransiskus telah menunjukkan bahwa orang terpinggirkan bisa menjadi saluran rahmat Allah. Seorang imam bisa menghidupi panggilannya melalui pelayanan kepada orang miskin dan terpinggirkan. Paus menyatakan bahwa Gereja kita bukanlah suatu organisasi besar melainkan Gereja kaum miskin dan sakramen keselamatan Allah. Seorang imam bisa berpartisipasi di dalam Gereja itu dan yakin kalau apa yang dibuatnya memberkati jalan panggilannya di masa-masa yang akan datang.
Penutup
Karl Rahner menulis, “The Priest is no an angel sent from heaven. He is a man chosen from among men, a member of the Church, a Christian.” Remaining man and Christian, he begins to speak to you the word of God. The word is not his own.” Kami sangat termotivasi dengan refleksi tentang seorang imam itu. Ia memang dipilih Allah sendiri dari antara manusia, ia dikuduskan Allah menjadi perantara rahmat bagi umat manusia. Sadar akan keterpilihan ini, kami sungguh menghargai martabat imamat yang dianugerahkan oleh Tuhan. Imamat bukan milik seorang pribadi imam itu sendiri melainkan milik Allah yang hendak menyelamatkan semua orang di dunia ini. Semoga melalui tulisan ini kami semakin mencintai imamat dan berusaha menghidupinya di setiap waktu.  

Daftar Pustaka
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja jilid III: H-J, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2004.
Purwa Hadiwardoyo, AL. Rinkasan Ajaran Gereja Sejak Konsili Vatikan II, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2017.
Agung Nugroho, R.B.E, W., Y. Prayogo, Benidiktus. Fransiskus dari Amerika Latin, Jakarta: Obor, 2014.
Escobar, Mario. Fransiskus Manusia pendoa, Jakarta: Gramedia, 2016.
Leu, Anselmus. Spiritualitas Imam, Yogyakarta: Yayasan pustaka nusatama, 2004.



[1] Bdk. Imam; dalam Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja jilid III: H-J (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2004).
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Bdk. AL. Purwa Hadiwardoyo, Rinkasan Ajaran Gereja Sejak Konsili Vatikan II (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2017), hlm. 15.
[5] R.B.E. Agung Nugroho, Benidiktus W., Y. Prayogo, Fransiskus dari Amerika Latin (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 80.
[6]Mario Escobar, Fransiskus Manusia pendoa (Jakarta: Gramedia, 2016), hlm. 107.
[7]R.B.E. Agung Nugroho, Benidiktus W., Y. Prayogo, Fransiskus dari Amerika Latin (Jakarta: Obor, 2014), hlm. 157.
[8]Ibid., hlm. 164.
[9] Anselmus Leu, Spiritualitas Imam (Yogyakarta: Yayasan pustaka nusatama, 2004), hlm. 31.


Comments